Explore Ngargoyoso dengan Jeep
Menikmati alam karanganyar biasanya saya lakukan dengan naik kendaraan pribadi, namun kali ini saja diajak mencoba menjelajah dengan cara yang berbeda yakni dengan jeep. Bagi kita mungkin lebih mengenal Lava tour Kaliurang untuk petualangan dengan menggunakan jeep, padahal dideket Solo ada yang menawarkan jeep taur untuk menjelajah destinasi di Ngargoyoso seperti kebun teh, telaga, candi serta taman hutan rakyat.
Kami berangkat pukul 12.30 WIB dari resto mbak Ning Ngargoyoso. Rencana kami akan menjelajah kawasan Ngargoyoso dengan rute RM. Mbak Ning – Telaga Madirda – Candi Sukuh – Tahura – Landasan Paralayang – Candi Cetho – dan finish di Perkebunan Teh Kemuning. Namun akhirnya dua destinasi terakhir urung kita singgahi, kita hanya lewat di perkebunan teh kemuning karena hari sudah mulai gelap dan cuaca tidak mendukung.
Perjalan dari titik pemberangkatan menuju telaga Madirda disambut geremis romantis, Meski demikian saya tetap memberanikan naik jeep terbuka agar bisa leluasa menikmati alam dan tentu saja mengabadikan perjalanan. Sesekali saya harus buka tutup ransel untuk menyimpan kamera. Sesampai di telaga Madirda, cuaca mulai bersahabat. Saya bisa mengekplorasi pesona telaga yang menurut petugas merupakan tempat untuk mensucikan diri sebelum melakukan perayaan keagamaan di Candi Cetho/Sukuh.
Sejatinya telaga ini tidak terlalu luas, namun airnya stabil; tidak mengering di musim kemarau dan tidak meluber saat musim penghujan. Konon ada sumber mata air yang lebih besar di lokasi ini, namun belum dibuktikan oleh masyarakat sekitar. Jika benar bisa jadi lokasi ini bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain.
Telaga Madirda sendiri berada di wilayah administrasi desa Berjo, Kecamatan Ngaryosoyo, Kabupaten Karanganyar. Tidak terlalu jauh dari objek wisata lainnya seperti Kebun Teh Kemuning, air terjun Jumog & Parang Ijo serta candi Sukuh.
Setelah 15 menit mengexplorasi kawasan ini kami bergegas melanjutkan perjalanan menuju candi Sukuh. Perjalanan masih asyik, jalan mulus sehingga meski naik turun kami tidak menemui masalah yang berarti. Diperjalanan kami disuguhi dengan pemandangan nan menawan : air terjun kecil, pedesaan yang asri serta bentang alam dengan hijau pepohonan.
Sampailah kita di candi Sukuh yang sekilas mirip dengan piramida Chichen Itza yang dibangun suku Maya. Soal kemiripan ini saya no comment … karena memang belum ada secara tegas berani menyimbulkan bahwa ada keterkaitan antara piramida suku Maya dengan candi Hindu ini. Sama seperti telaga Madirda, candi Sukuh secara administratif masuk desa Berjo, Ngargoyoso.
Candi ini ditandai dengan relief dan patung yang menunjukkan lingga dan yoni. Sebagian orang menganggap candi sukuh merupakan candi erotis karena pada beberapa bagian menggambarkan alat kelamin manusia. Merujuk pada wikipedia, pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sengkala memet dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta aban wong (“raksasa gapura memangsa manusia”), yang masing-masing memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 (Saka) (1437 Masehi). Angka tahun ini sering dianggap sebagai tahun berdirinya candi ini, meskipun lebih mungkin adalah tahun selesainya dibangun gapura ini. Di sisi sebelahnya juga terdapat relief sengkala memet berwujud gajah bersorban yang menggigit ekor ular. Ini dianggap melambangkan bunyi gapura buta anahut buntut (“raksasa gapura menggigit ekor”), yang juga dapat ditafsirkan sebagai 1359 Saka.
Setelah dari candi Sukuh kami melanjutkan perjalanan menuju taman hutan rakyat (Tahura) KGPA Mangkunegoto. Meski namanya Mangkunegoro, hutan ini bukan milik Istana Mangkunegaran melainkan Perhutani. Tahura ini sangat cocok untuk camping bersama keluarga atau komunitas. Tersedia berbagai fasilitas mulai dari masjid, panggung hingga taman bermain.
Selanjutnya kita beranjak dari Tahura untuk menuju destinasi selanjutnya yakni landasan Paralayang di Segoro Gunung. Sopir kami menyarankan saya pindah ke jeep tertutup karena medan yang dilalui lebih berat. Benar saja, jalur yang kita lewati ekstrim : tikungan, tanjakan dan turunan tajam dengan jalan yang masih berupa tanah dan batuan. Jeep kami berjalan pelan, pun demikian goncangan tetap terasa keras. Kami seperti terombang ambing di lautan, goyang kanan kiri akibat jalan yang tak rata.
Sekitar jam setengah lima akhirnya kami sampai di landasan Paralayang yang persis berada di puncak perkebunan teh Kemuning. Sayang kabut mulai turun sehingga kami tidak bisa leluasa mengabadikan pemandangan nan elok dengan latar perkebunan Kemuning. Sesaat kemudian kami mendapat aba-aba untuk segera melanjutkan perjalanan karena hari sudah mulai gelam dan awan yang memberi pertanda hujan segera turun. Benar saja, baru beberapa menit jalan, hujan turun dengan derasnya.
Cuaca yang tidak mendukung dan hari yang sudah mulai gelap membuat ketua rombongan memutuskan untuk langsung pulang ke Solo. Pengalaman yang luar biasa, ekstrim tapi menyenangkan.
Telaganya dalem gak Mas Dim?
Kelihatannya sih nggak dalem. cuma memang kurang asyik kalau buat berenang.
wah bro sayange pas iki ora isoh melu..syedihhh
nah … asyik lho
Mantep bangeeet turnya, fotonya bagus Om… Relief yang bersorban unik banget
yuk kisini 🙂
Seru banget ya Mas travelling sambil naik jeep, tapi kalo yang jeep terbuka susahnya pas hujan jadi basah. Kalau nggak salah aku daftar event ini tapi ga lolos huhuhu
Iya mas. kemarin beberapa rekan sempat pindah jeep karena hujan. Next time semoga dapat kesempatan ke Solo.
Tempat lahirku memang mempesona, kapan2 smg bisa bareng2 explore
kapan? Masih banyak yang belum kok. khususnya yang belum diketahui umum.